Blog Tetangga: Aku, Ibuku dan Ibu Mertuaku

Oleh : Noer Izza Kusumawardani
Ibuku

Jika kau ingin tahu rahasia kesuksesan seseorang, kenalilah ibunya.

Setiap perempuan normal pasti punya keinginan menjadi seorang ibu. Setidaknya keinginan itu muncul ketika dia sudah merasa siap untuk memasuki sebuah kehidupan baru yaitu berumah tangga. Meski tanpa persiapan, karena memang tidak ada sekolah khusus untuk menjadi seorang ibu, episode kehidupan itu mau tidak mau harus dijalani oleh seorang perempuan. Naluri sebagai seorang ibu akan muncul dengan sendirinya karena hal itu memang sudah menjadi fitrahnya perempuan.

Menjalani tugas sebagai seorang ibu bukan sesuatu hal yang mudah. Bahkan bisa dikatakan ” gampang-gampang susah “. Bekerja 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, 30 hari dalam sebulan, dan seterusnya, sehingga ada beberapa kaum perempuan yang kebablasan dalam memaknai istilah ” kesetaraan gender “. Mereka yang kebablasan bisa sampai menolak mengandung dan melahirkan seorang anak. Ah, seandainya mereka tahu betapa kedudukan seorang ibu sangatlah tinggi di mata Tuhan, mungkin mereka bisa berubah pikiran.

Aku, terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara dengan dua orang saudara laki-laki. Saat ini aku adalah seorang ibu dari tiga orang anak yang semuanya laki-laki. Bisa dibayangkan betapa ramainya rumah. Ketika salah seorang tidak ada di rumah, rasanya ada yang kurang. Tapi, jika semuanya berkumpul, harus banyak banyak bersabar melihat tingkah mereka. Anehnya, aku sangat menikmati keramaian itu.

Ibuku seorang ibu rumah tangga. Beliau adalah perempuan tangguh yang tidak mengenal lelah. Sejak masih muda, jiwa bisnisnya tidak pernah padam. Usaha apapun dijalaninya yang penting halal. Mulai dari menyediakan perlengkapan perempuan untuk teman-temannya di asrama ( ketika muda beliau sekolah dan tinggal di asrama ), membuat sweater, sampai membuka usaha percetakan dijalaninya tanpa kenal lelah. Semua demi masa depan kami, anak-anaknya. Kata beliau, anaknya harus lebih pintar dan lebih sukses dari ibunya.
buku

Meski umurnya sudah hampir enampuluh tahun ibuku masih sanggup pergi sendirian, naik angkot. Jika berjalan, aku bisa tertinggal jauh di belakangnya, karena jalannya memang sangat cepat. Makanya, ketika beberapa bulan yang lalu beliau merasakan sakit pada tumitnya, kulihat raut mukanya sangat sedih. Bersyukur, sekarang sudah sembuh sehingga bisa beraktifitas kembali.

Begitu juga dengan ibu mertuaku. Beliau juga perempuan yang sangat tangguh. Sendirian beliau harus membesarkan lima orang anaknya. Ayah mertuaku meninggal satu minggu sebelum pengumuman Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negri ( UMPTN ) keluar. Usaha warung makanan tetap dijalankannya sampai anaknya yang bungsu selesai kuliah. Bukan hal yang mudah memang, tapi bagi Tuhan sangatlah mudah. Bukankah hanya dengan ” kun fayakun ” semua yang dikehendakinya pasti terwujud.

Aku berbeda dengan ibuku, meski ada pepatah yang mengatakan ” buah jatuh tidak jauh dari pohonnya “. Apalagi dengan ibu mertuaku, karena aku memang tidak terlahir dari rahimnya. Perbedaan yang membuatku banyak belajar tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang ibu. Aku, ibuku dan ibu mertuaku memang hidup di jaman yang berbeda dengan kondisi yang berbeda pula, tapi apa yang dilakukan ibuku dan ibu mertuaku sudah menunjukkan hasil yang sangat baik.

Ketangguhan, keuletan, usaha tanpa kenal lelah dan mendahulukan kepentingan anak-anaknya daripada kepentingannya sendiri adalah kunci dari keberhasilan mereka. Mereka juga tidak berhenti mendoakan anak-anaknya meski doa itu tak pernah terdengar dari mulutnya, tapi aku yakin bahwa hubungan mereka dengan Tuhan sangatlah dekat, melalui bisikan dari relung hatinya yang terdalam.

Satu hal yang kuyakini saat ini adalah bahwa ibu adalah pencetak pondasi sebuah generasi. Mungkin ada perbedaan dalam pola dan gaya mendidik anak, tapi prinsip-prinsip kebaikan dalam hal mendidik anak tetaplah sama. Jika mereka bisa, harusnya aku juga bisa.

Menurutku, meski kita sudah menjadi seorang ibu, kita tetaplah seorang anak. Dan bagiku, ibu dan juga ibu mertuaku adalah salah satu dari sekian banyak sumber inspirasiku dalam mendidik anak-anakku. Mereka adalah contoh nyata yang ada di depan mataku, dan tidak seharusnya kusia-siakan.

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/12/19/aku-ibuku-dan-ibu-mertuaku/

Rasanya tidak cukup air laut sebagai tinta untuk mengungkapkan rasa terima kasihku untuk mereka, karena sungguh jasa mereka tak kan pernah bisa kubalas. Semoga Tuhan menjadikan hidup mereka sebagai jalan bagi mereka untuk bertemu dengan-Nya, memandang-Nya dan merasakan cinta-Nya yang penuh dengan keabadian.

Komentar

Postingan Populer