Ciuman Tangan


Terinspirasi dari pengejaran ibu oleh anak gadisnya yang masih mungil di bawah lima tahun. Anak itu datang bersama ayahnya, mengejar sang ibu yang sudah berdiri di tempat apel pagi di depan kantornya.
"Umi, dd belum cium tangan umi," begitu kata sang ayah. Wajah sang anak masih sembab dan di sudut matanya masih belum terhapus setitik air mata yang menggantung. Rupanya ia baru menangis karena sang ibu melewatkan sesi cium tangan di pagi hari sebelum berangkat ke kantor. Cium tangan seperti sebuah kunci untuk membukakan pintu rumah agar sang ibu boleh pergi.
Anak gadis itu masih kecil. Masih di bawah lima tahun. Ucapannya juga masih terbata-bata. Tapi ia sudah mengenal arti kasih sayang dan kesetiaan. Tidak sedikit anak kecil yang tidak mau ditinggal pergi orang tuanya, meskipun hanya ke warung. Coba saja, jika ibu mengancam akan pergi jika si anak berbuat begini atau begitu, si anak justru akan tambah menangis. Karena ia memang belum bisa kehilangan orang tuanya.
Akan tetapi, pada jaman sekarang, banyak hal yang membuat orang tua harus pergi meninggalkan anaknya. Tidak hanya ayah yang pergi, ibu juga harus pergi. Entah itu karena tuntutan biaya hidup, tuntutan profesionalisme dan keilmuan, atau tuntutan sosial. Sehingga para orang tua harus merancang komunikasi yang efektif dengan anak agar anak tetap dapat merasakan kasih sayangnya.
Ketika sang ayah sibuk mencari nafkah, sang ibu juga sibuk beraktivitas di luar, terkadang hal sepele yang punya makna dan manfaat yang besar menjadi terlupakan. Contohnya cium tangan. Cium tangan istri pada suami, cium tangan anak pada orang tuanya...
Teringat, pada awal pernikahan, di mana rasa canggung masih saja mengganggu komunikasi suami istri, untuk mengawali tradisi cium tangan rasanya sulit sekali. Tapi akhirnya terbiasa juga.
Bagiku, kebiasaan cium tangan adalah kebiasaan baik yang berefek luar biasa. Asal benar penempatannya. Kebiasaan itu aku lakukan pada suami begitu kami berpisah di tempat kerja. Misalnya, suamiku harus mengajar di kelas yang jauh dari kantorku, maka aku akan cium tangan suami sebelum berpisah. Begitu terus, sampai suami pernah mengatakan pada tahun kedua pernikahan kami, "abi masih malu cium-cium tangan, kayaknya yang lain gak ada yang begini deh,"
"ya, sepertinya teman-teman memang gak ada yang begini, bi. Tapi apakah kebiasaan ini tergolong buruk? Kalo memang baik, kenapa tidak kita lestarikan kebiasaan ini."
Dalam keadaan baik-baik saja hubungan komunikasi kami, cium tangan memang tidak begitu terasa di hati. Tapi dalam pernikahan, ada saja hal-hal yang membuat komunikasi jadi tidak lancar, yang bisa jadi efeknya seolah seperti perang dingin. Maka cium tangan seperti menjadi pencair kebekuan hati dan sikap kami. Sehingga yang tersisa adalah sikap memaafkan, saling menerima dan mengevaluasi diri.
Banyak pasangan yang mungkin merasa...ketika usia pernikahan semakin tua, ritual-ritual kecil pengikat kasih sayang, sepertinya dilewatkan begitu saja. Bahkan ada yang merasa tidak membutuhkan lagi ritual semacam itu karena hati mereka telah sangat terikat dalam kompleksnya kehidupan berumah tangga dan tidak ada lagi ruang untuk sekedar berbasa-basi. Atau mungkin merasa malu pada yang muda, karena merasa diri sudah tua.
Padahal mungkin, ketika ungkapan simbol kasih sayang perlahan-lahan menghilang, sensitifitas hati kita untuk menerima cinta mungkin juga perlahan redup. Sehingga yang ada adalah rutinitas, aktivitas, kebersamaan yang menjemukan. Mungkin.
Bagiku, hal-hal kecil yang justru bermanfaat besar itu, harus tetap dijaga. Ungkapan kasih sayang antar suami dan istri, orang tua dan anak, tidak berlaku hanya pada awal-awal pertemuan, tapi merupakan anugerah yang halal dinikmati dan juga harus dijaga, sebagai bentuk syukur kita. Sehingga semakin tua usia pernikahan, semakin kuat ikatan cinta. Amien.

Semakin hari...semakin cinta...

Komentar

Postingan Populer