Sabarnya Abi...


Hampir dua tahun usia pernikahan kami. Hari demi hari telah kami lalui. Kadang hambar dan begitu saja pagi hingga malam berlalu. Lebih sering bercampur aduk rasa, senang, ceria, semangat, susah, sedih, marah menjadi pengalaman berharga yang membuahkan kedewasaan. Kadang dalam satu hari, semua tumpah ruah, sehingga malam menjadi masa muhasabah yang sarat arti.
Seperti salah satu episode pada hari ini. Pagi-pagi, rumah tangga kami sudah diributkan dengan masalah anak yang menangis meraung-raung. Bukan anak kandung kami, tapi anak yang dititipkan pada kami. Secara, karena kami tinggal di asrama anak-anak, menjadi ‘penjaga’ mereka. Abi seperti ayah bagi mereka, di sini. Tidak semua anak mudah dibangunkan pagi-pagi untuk sholat shubuh. Meski segayung airpun melayang, belum tentu sukses membangunkan beberapa anak, salah satunya yang mungkin lumayan parah adalah sebut saja Ari. Gayung melayang tak sukses, jadilah sebuah gunting melayang. Ari yang sangat care dengan penampilannya, otomatis langsung bangun berteriak melihat rambutnya acak-acakkan digunting dan dilanjutkan dengan…menangis. Tentu saja, karena ternyata, apa yang Abi lakukan bukan kelanjutan dari cerita mimpi dalam tidurnya.
Tak hanya menangis meraung-raung, tapi juga keluarlah dari mulut Ari, serangkaian kata-kata kesal, yang menurut UD, sangat tidak pantas diucapkan seorang anak kepada Abinya, apalagi seorang murid kepada gurunya. Mendengar Ari berkata-kata seperti itu, UD yang masih sibuk menyiapkan MPASI buat Di di rumah, ikut terpancing emosi, dan segera keluar. Rasanya ingin melabrak Ari. Mengatakan padanya, betapa tidak tahu terima kasihnya dia pada Abi yang sangat sayang padanya. Tapi begitu sampai di hadapan Ari yang dari tadi masih mengomel-ngomel, UD hanya bisa diam melihat Abi yang juga hanya diam. Malah sempat-sempatnya Abi tersenyum dalam kondisi seperti itu. Sementara Ari yang mungkin masih teringat dengan rasa malunya, berhenti mengomel.
Orang mana yang tak marah jika dirinya dicaci maki, apalagi seorang Abi oleh anaknya, seorang guru oleh muridnya?
Kalo aku mungkin akan terpancing emosi, marah, atau jika tidak marah sekalipun, aku lebih memilih pergi dari hadapan orang yang mencaci maki.
Tapi ternyata tidak begitu dengan Abi.
Abi lebih memilih diam. Diam bukan berarti lemah. Justru diamnya mengisyaratkan kekuatan hatinya, keteguhan jiwanya untuk tidak mudah terpancing emosi, apalagi emosi orang yang memang sedang marah.
Ada orang yang mengistilahkan sikap ini dengan kata ‘sabar’.
Jadi, abi…sabar banget ya…
Kok, UD baru nyadar sih… ^_^

Komentar

Postingan Populer