Pasangan Suami Istri “Nrimo”

Seperti dibahas sebelumnya, kaidah umum di kalangan mereka –keluarga abi-, adalah seorang wanita memiliki kewajiban melayani kebutuhan suami, sehingga tidak heran jika hampir setiap hari mereka mendatangi dapur mereka yang bentuknyapun, sebagian besar masih berupa pawon. Pawon adalah sebentuk kompor bikinan dari tanah atau batu bata, berbentuk kotak memanjang, berlubang dua di atas untuk tempat menaruh wajan, panic dan alat masak lainnya, dan berlubang satu di depan untuk tempat kayu bakar. Sementara itu, seorang laki-laki memiliki kewajiban mencari nafkah. Sebagian memilih menggarap sawah milik mereka atau milik orang lain, sebagian memilih profesi lain seperti penjahit, kontraktor, dll. Tapi hampir sebagian besar mereka memiliki sawah sebagai tabungan, serta tetap meluangkan waktu untuk menengok sawah-sawah mereka, meski profesinya di luar itu. Selain sawah, tabungan yang tak kalah mereka upayakan adalah hewan ternak, seperti sapi, kambing, ayam, bebek. Hampir setiap rumah memiliki ayam, walaupun tidak diternak dalam skala besar. Ayam-ayam itu, suatu kelak akan mereka jual ketika mereka membutuhkan uang, sebagian lagi disembelih untuk hidangan hari raya.
Kemudian yang menarik tentang para istri, khususnya yang menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Tidakkah mereka merasa bosan? Tidakkah mereka sering minta ini itu pada para suami sebagai bentuk balas budi dari pelayanan mereka? Tidakkah mereka jenuh dengan keseharian mereka melayani suami?
Ternyata tidak.
Mari kita tengok keseharian mereka.
Mereka bangun pagi-pagi untuk menunaikan kewajiban sholat, memasak air untuk minum, membuka kandang ayam, meracik bumbu untuk memasak sarapan pagi -yang tidak sebentar, minimal setengah jam, karena tidak ada blender untuk menghaluskan bumbu, tidak ada istilah ‘santan instan’ yang rasanya kurang alami menurut mereka- dan selama memasak mereka akan betah berlama-lama di dekat pawon dengan bahan bakar kayu, yang tentu mengeluarkan asap biru yang lumayan pedih di mata. Setiap hari, tiga kali sehari, tiga kali makan. Lihatlah hasil masakan mereka. Sederhana tapi sangat berkesan. Sayur ceme dengan sambel korek, sedapnya… menandingi masakan ibu ummi di rumah. Mungkin pengaruh asap pawon itu menambah aroma sedap masakan mereka. Setelah memasak, mereka akan bersih-bersih, memandikan anak-anak yang masih kecil, memberi makan ternak, mencuci pakaian, mengasuh dan bermain bersama anak-anak mereka, kemudian menjelang siang mereka akan memasak lagi untuk perbekalan suami di sawah. Siang hari mereka mengantar perbekalan, atau suami pulang sebentar untuk makan siang. Selanjutnya mereka merapikan pakaian, membersihkan rumah, tidur siang jika sempat, bercengkrama dengan tetangga, dsb.
Begitu setiap hari, aktivitas mereka, tanpa rasa bosan, di rumah yang sederhana, tanpa mereka sering menuntut lebih. Ada yang masih beralaskan tanah, dengan kursi jati seadanya untuk menerima tamu. Pun menonton TV di atas tikar yang terbuat dari karung goni, atau karung plastic yang dijahit, atau kursi panjang jati bikinan sendiri. Untuk tidur, mereka tidak perlu repot-repot membeli ranjang, kasur, sprei, bantal guling, boneka, wall sticker, selimut tebal, karena mereka sudah bisa tidur pulas di atas sehelai tikar berselimutkan kain jarik. Tikar yang tergelar di atas tanah. Ya tanah. Kebayang jika mereka berguling-guling keluar dari tikar, tentu saja baju mereka akan belepotan tanah.
Seperti itu jugalah abi ketika masih tinggal di rumah orang tua dulu, sampai kelas 6 SD. Sementara ummi, duduk di atas tikar yang tergelar di atas tanah saja merasa risih, walopun ummi sekarang akhirnya bisa menikmati juga. Tapi kalo harus tidur di atas tanah beralaskan tikar, rasanya… ummi gak yakin bisa tidur apa gak. Apalagi ummi alergi debu.
Subhanallah. Para istri itu, walaupun mereka memuji dan ingin punya rumah yang berlantai keramik, tapi mereka tidak banyak menuntut suami untuk bisa memberi mereka rumah berlantai keramik. Ketenangan serta kebahagiaan hidup mereka juga tidak berkurang walaupun rumah mereka masih beralas tanah, bergorden kain butut, jangankan assesoris seperti karpet, gorden senada, pajangan meja, lampu hias, wallpaper, wall sticker, untuk tikar yang mereka gunakan sehari-hari saja mereka hanya menggunakan karung goni yang dijahit atau bekas spanduk yang dijual di pasar seharga Rp. 10.000,00. Subhanallah, mereka tidak hanya survive dengan keadaan seperti itu, tetapi juga menikmati. Tidak ada suara-saura tuntutan kepada suami sebagai balas budi dari apa yang telah mereka lakukan selama ini.
Bagaimana dengan para suami?
Setiap pagi mereka berangkat ke sawah, membawa perlengkapan, menggarap sawah, mencari rumput, mencari kayu bakar. Sekitar jam sepuluh mereka istirahat, makan dan minum, selanjutnya berangkat lagi ke sawah hingga tiba waktu dzuhur. Begitu setiap hari, berpanas-panas, berletih-letih, berpeluh-peluh. Ketika tiba di rumah, mereka sudah cukup senang melihat istri selepas memasak, yang juga lelah, berkeringat, dan tentu saja tidak berias.

Komentar

Postingan Populer